Kasus mantri desa Kuala Samboja, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, Misran yang dipidana 3 bulan oleh Pengadilan Tinggi Samarinda nampaknya tetap menemui jalan buntu. Sebab, seandainya Misran menang di Mahkamah Konstitusi (MK), ayah 4 anak tersebut tetap harus meringkuk di penjara.
"Karena putusan MK tidak berlaku surut. Putusan MK atas kasus Misran hanya berlaku ke depan, tidak berlaku ke belakang," kata pengacara publik LBH Jakarta, Edy Halomoan Gurning, saat berbincang dengan detikcom, Jumat, (7/5/2010).
Dalam permohonan ke MK, Misran meminta pasal 180 UU Kesehatan untuk dihilangkan karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Pasal tersebut menyebutkan, orang yang berhak memberikan obat jenis tertentu hanya tenaga farmasi. Akibatnya, mantri desa di pedalaman terancam dikriminalisasikan.
"Meski saat ini Misran masih kasasi, tapi untuk kasus Misran, Mahkamah Agung (MA) tidak ada kewajiban memperhatikan putusan MK jika mengabulkan. Karena, kasus Misran terjadi beberapa bulan sebelum putusan MK. Sedangkan MA hanya menilai kasus saat PN memberikan putusan yaitu pasal tersebut
masih belaku atau tidak," tambahnya.
Meski demikian, jika MK memenangkan, maka putusan MK akan menguntungkan mantri atau bidan desa di seluruh Indonesia. Pasalnya, MK telah menghilangkan pasal yang mengkriminalkan petugas medis di pelosok nusantara.
"Meski Misran tetap bisa dipidana, tapi ini bentuk perlindungan hukum bagi tenaga medisnya. Karena putusan MK bisa menjadikan payung hukum bagi Misran-Misran lainnya. Yang bisa membebaskan pidana Misran kini hanyalah hakim yang memegang kasasi di MA," pungkasnya.
"Karena putusan MK tidak berlaku surut. Putusan MK atas kasus Misran hanya berlaku ke depan, tidak berlaku ke belakang," kata pengacara publik LBH Jakarta, Edy Halomoan Gurning, saat berbincang dengan detikcom, Jumat, (7/5/2010).
Dalam permohonan ke MK, Misran meminta pasal 180 UU Kesehatan untuk dihilangkan karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Pasal tersebut menyebutkan, orang yang berhak memberikan obat jenis tertentu hanya tenaga farmasi. Akibatnya, mantri desa di pedalaman terancam dikriminalisasikan.
"Meski saat ini Misran masih kasasi, tapi untuk kasus Misran, Mahkamah Agung (MA) tidak ada kewajiban memperhatikan putusan MK jika mengabulkan. Karena, kasus Misran terjadi beberapa bulan sebelum putusan MK. Sedangkan MA hanya menilai kasus saat PN memberikan putusan yaitu pasal tersebut
masih belaku atau tidak," tambahnya.
Meski demikian, jika MK memenangkan, maka putusan MK akan menguntungkan mantri atau bidan desa di seluruh Indonesia. Pasalnya, MK telah menghilangkan pasal yang mengkriminalkan petugas medis di pelosok nusantara.
"Meski Misran tetap bisa dipidana, tapi ini bentuk perlindungan hukum bagi tenaga medisnya. Karena putusan MK bisa menjadikan payung hukum bagi Misran-Misran lainnya. Yang bisa membebaskan pidana Misran kini hanyalah hakim yang memegang kasasi di MA," pungkasnya.
1 komentar:
bukan pasal 180 tapi 108
Posting Komentar